Kedaulatan Identitas Budaya: Merdeka yang Tak Selesai

Penulis : Andi Miftahul Farid, M.Ec.Dev

(Analis Kebijakan Ahli Madya Bidang Riset dan Inovasi Daerah)

Bulan Agustus datang lagi. Bendera merah putih berkibar di tiang bambu, di atap rumah, bahkan di kapal nelayan yang pulang melaut. Di jalanan, anak-anak berlari dengan sendok berisi kelereng di mulut. Musik dangdut, campursari, sampai sound horeg memanasi panggung rakyat. Semua terasa meriah, seolah kita sedang merayakan kemenangan penuh.

Tapi, izinkan saya bertanya sedikit nakal: Merdeka kita ini sebenarnya merdeka dari siapa? Penjajah Belanda? Jepang? Atau dari ketakutan kita sendiri untuk menjadi diri sendiri? Kita ini aneh. Di satu sisi bangga bilang “aku Indonesia”, di sisi lain gampang sekali kehilangan jati diri. Kain batik dipakai saat upacara, tapi sehari-hari kita rela membeli kaos bergambar bintang film asing. Lagu daerah dikira musik nostalgia yang pantasnya hanya dimainkan di acara 17-an, sementara di playlist harian kita sibuk memuja lagu yang bahkan kita tak paham liriknya.

Padahal, kedaulatan identitas budaya itu bukan urusan seremoni. Ia adalah keputusan sehari-hari: bahasa apa yang kita pakai untuk bercanda dengan anak, makanan apa yang kita masak di dapur, cerita rakyat mana yang kita dongengkan sebelum tidur.

Emha Ainun Nadjib pernah bilang, bangsa yang besar bukan cuma punya sejarah, tapi juga mau menjaga ingatan. Karena tanpa ingatan, kita ini seperti kapal tanpa jangkar—mudah hanyut ke mana arus membawa. Sudjiwo Tejo, dengan gaya bengalnya, mungkin akan menimpali, “Kalau kamu lupa lagu ibu, jangan salahkan kalau nanti hatimu cuma ngerti irama iklan.”

Kedaulatan budaya itu bukan soal “anti asing” atau menolak globalisasi. Kita bisa belajar dari luar, berdagang dengan luar, bahkan jatuh cinta pada orang luar. Tapi akar kita harus kuat. Karena pohon yang akarnya putus akan tumbang, meski batangnya tinggi.

Bulan Agustus seharusnya bukan hanya pesta lomba, tapi juga pengingat bahwa kemerdekaan adalah hak untuk menjadi diri sendiri—secara penuh, tanpa minder, tanpa meminjam baju orang lain.

Bayangkan kalau upacara bendera diadakan dengan iringan gamelan, shalawat, dan pantun Melayu. Bayangkan lomba-lomba diisi tarian perang, teater rakyat, dan syair laut. Bayangkan menu tumpengan 17 Agustus di setiap daerah memakai resep leluhur masing-masing.

Itu bukan romantisme. Itu strategi. Karena dalam dunia yang makin seragam ini, budaya adalah benteng terakhir kedaulatan.

Jadi, kalau bulan Agustus ini kita ikut lomba tarik tambang, ingatlah: tali itu bukan cuma penghubung antar tim, tapi juga metafora. Kita sedang menarik tali antara masa lalu dan masa depan. Jangan sampai talinya putus. Jangan sampai kita merdeka di atas kertas, tapi terjajah di lidah, telinga, dan pikiran.

Kemerdekaan tanpa kedaulatan identitas budaya hanyalah bendera yang berkibar di tiang orang lain.

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*