Oleh : Andi Miftahul Farid, M.Ec.Dev
(Analis Kebijakan Ahli Madya Bapelitbangda Natuna)
Di Natuna, ombak tak pernah tidur. Angin selalu membawa cerita dari jauh, dari pelabuhan-pelabuhan yang sibuk di kota besar hingga pulau-pulau kecil yang sunyi. Di tengah laut luas itu, kita berdiri di tepi waktu, memandang masa depan yang bergantung pada satu kata kunci: riset.
Riset di Natuna ibarat perahu yang baru saja dibangun di galangan. Badannya kuat, kayunya mahal, tapi dayungnya belum lengkap dan layar belum dikembangkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa belanja litbang (penelitian dan pengembangan) kita masih relatif kecil dibanding potensi yang dimiliki. PAD Natuna tahun 2024 berada di kisaran Rp160 miliar, dengan APBD lebih dari Rp1,2 triliun, namun alokasi khusus untuk riset dan inovasi belum mencapai 1% dari total belanja.
Tantangan pertama adalah terbatasnya kapasitas SDM riset. Peneliti lokal yang punya spesialisasi kelautan, perikanan, atau energi terbarukan masih bisa dihitung jari. Banyak yang lulusan perguruan tinggi di luar daerah, tetapi belum kembali ke Natuna karena peluang penelitian di sini belum menjanjikan secara ekonomi.
Tantangan kedua, pemanfaatan hasil riset yang belum optimal. Hasil penelitian tentang diversifikasi olahan ikan atau pemetaan potensi wisata bahari sering berakhir di rak laporan atau seminar musiman. Padahal, riset semestinya menjadi peta navigasi pembangunan — tanpa peta, kapal hanya berputar-putar di perairan yang sama.
Ketiga, keterhubungan antara riset dan inovasi masih renggang. Inovasi memerlukan keberanian untuk menguji ide di lapangan, tapi tanpa riset, inovasi berisiko menjadi percobaan yang hanya menghabiskan sumber daya. Seperti menebar jaring tanpa tahu di mana gerombolan ikan berada.
Meski begitu, peluang Natuna sangat besar. Dengan 99% wilayahnya laut, riset di bidang perikanan berkelanjutan, energi gelombang laut, dan konservasi terumbu karang dapat menjadi lokomotif ekonomi baru. Bayangkan jika kita punya pusat riset kelautan yang bekerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga internasional; Natuna bisa menjadi laboratorium hidup bagi dunia.
Selain itu, sektor pariwisata berbasis riset pun menjanjikan. Studi yang mendalam tentang arus laut, musim, dan ekosistem bisa menjadi dasar pengembangan wisata selam yang aman dan berkelanjutan. Inovasi di sini tidak hanya soal membangun fasilitas, tetapi juga tentang menjaga cerita laut agar tetap lestari.
Namun, semua ini hanya mungkin jika ada kemauan politik (political will). Pemerintah daerah perlu menetapkan target alokasi belanja litbang minimal 1% APBD, membentuk dewan riset daerah yang melibatkan akademisi, pelaku industri, dan komunitas lokal, serta memastikan setiap proyek inovasi lahir dari data, bukan sekadar intuisi.
Riset adalah fondasi, inovasi adalah bangunan. Tanpa fondasi, bangunan akan ambruk saat badai datang. Natuna tidak bisa hanya menunggu kebijakan pusat atau proyek sesaat. Kita perlu menggerakkan mesin riset dari dalam, memastikan setiap inovasi yang lahir benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat, bukan sekadar mengikuti tren global.
Laut Natuna akan terus bergelombang. Tapi kalau kita punya peta yang akurat dan kapal yang tangguh, gelombang bukan lagi ancaman — ia menjadi lagu pengiring perjalanan. Riset memberi kita peta, inovasi memberi kita layar. Yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian untuk berlayar lebih jauh.
Leave a Reply